Kota Alexandria atau Iskandariyah memegang
peranan penting bagi Mesir. Sisa-sisa kemahsyuran bangunan ala Eropa dan pesona
Laut Mediterania adalah alasan turis selalu datang ke kota ini.
Kota Alexandria atau Kota Iskandariyah merupakan
kota terbesar kedua di Mesir setelah Kairo. Kota ini merupakan kota pelabuhan
terbesar di Mesir karena letaknya yang berada di pinggir Laut Mediterania.
Kemahsyuran Kota Alexandria yang tercatat dalam
buku sejarah kita semasa sekolah ini, membuat langkah kaki menuju kota tersebut
pada hari itu menjadi sangat ringan dan riang. Ditempuh dengan perjalanan
sejauh kurang lebih 3 jam dari Kairo, berangkat setelah sarapan kami tiba di
Alexandria pada pukul 10.30 waktu lokal.
Konon, karena terdiri dari pantai-pantainya yang
indah itu pula, banyak wisatawan dan penduduk Kota Mesir dari segala penjuru
banyak menghabiskan waktu musim panas untuk berlibur di sana. Sejak di awal
masuk Kota Alexandria, kota ini terlihat lebih rapi tertata dan bersih
dibandingkan dengan Kairo.
Nuansa bangunan khas Eropa yang berwarna putih
gading dan kecokelatan juga banyak mendominasi sepanjang perjalanan dalam kota.
Usut punya usut, ternyata nuansa ini dibawa oleh bangsa Perancis pada saat Napoleon
Bonaparte melakukan lawatan ke Mesir di akhir abad ke-17.
Di Alexandria terdapat seperti kisah
Raja Farouk yang digulingkan oleh kudeta dan Istana Montaza yang tersohor ,. ada
beberapa tempat yang pastinya tidak akan anda lewatkan yaitu ke Pompeys Pillar dan Citadel
Qaitbay Fort.
Pompeys Pillar (Amoud Al Sawari). Inilah pilar
raksasa peninggalan Romawi kuno yang dulunya dipakai sebagai tempat peribadatan
bangsa Romawi. Citadel Qait Bay Fort.Bangunan pertahanan yang didirikan
Sultan Qaitbay Al Zahiry pada tahun 1468-1496 M ini dimaksudkan sebagai benteng
untuk menghadang gempuran pasukan Turki, Dinasti Usmani. Bangunan ini terletak
di pinggir laut, kokoh berdiri menantang ombak.
Istana Raja Farouk dan Taman Montaza. Wilayah
seluas sekitar 155 hektar ini, pernah ditinggali sebagai kediaman Raja
Farouk yang merupakan keturunan terakhir dari Dinasti Muhammad Ali yang menjadi
penguasa Mesir sejak abad ke-19.
Raja ini ternyata dalam sejarahnya adalah raja
yang suka berfoya-foya dan menjadi tidak disukai rakyatnya sehingga digulingkan
lewat kudeta militer. Konon, di masa sulit Perang Dunia II dimana sebagian
rakyatnya hidup dengan keprihatinan, Raja Farouk tetap gemar hidup dalam
kemewahan.
Dia bahkan meminta agar seluruh lampu istananya
dinyalakan terang menderang ketika seluruh rakyatnya diminta untuk memadamkan
lampu dengan alasan efisiensi. Kudeta yang dilakukan oleh Gamal Abdul Nasser
ini merubah sejarah kepemimpinan sistem Kerajaan Mesir menjadi sistem republik.
Sejak itu Gamal Abdul Nasser lalu menjadi
pemimpin selanjutnya di Mesir. Raja Farouk lalu hidup dalam pengasingan di
Monaco dan kabarnya meninggal ketika berada di jamuan makan di Italia.
Sejak saat itu, istana ini dipergunakan sebagai
tempat menjamu tamu-tamu kenegaraan, dikarenakan letaknya yang strategis di
tepi Pantai Mediterania. Taman Montaza yang ditanami berbagai bunga dan
tumbuhan cantik nampak indah terhampar di depan istana.
No comments:
Post a Comment