Sunday, January 11, 2015

Marrakech, ”Kota Merah” Nan Eksotis




Marrakech  merupakan kota terbesar keempat di Kerajaan Maroko yang letaknya di Afrika Utara setelah Rabat, Casablanca, dan Fez. Kota tua ini merupakan salah satu tempat tujuan wisata bagi orang-orang Eropa. Banyak penerbangan langsung dari sejumlah kota di Eropa ke Marrakech. Pemerintah Kerajaan Maroko menargetkan 20 juta orang mengunjungi Maroko pada tahun 2020.

Seperti kota-kota lain di Maroko, Marrakech terdiri atas kota tua yang dikelilingi tembok benteng tinggi dan penuh dengan lapak pedagang yang disebut medina, berdampingan dengan bangunan modern. Media di Marrakech dikelilingi tembok memutar sepanjang 40 kilometer.

Kota tua ini mempertahankan ciri khasnya, yaitu semua bangunan berwarna merah bata. Pada masa lalu, mereka membangun rumah dengan menggunakan lumpur merah dan dipertahankan hingga kini. Tidak ada warna bangunan lain di Marrakech selain merah bata.


Saat ini, Marrakech juga merupakan salah satu kota tersibuk di Afrika. Marrakech memiliki pasar tradisional suku Berber terbanyak di Maroko. Di kota ini ada 18 souk atau pasar tradisional yang menjual berbagai macam barang, mulai dari kerajinan seperti karpet, sandal, tas kulit, hingga barang elektronik.

Sehari-hari, penduduk Marrakech berbicara dalam bahasa Arab. Seperti negara Magribi lainnya, mereka juga lebih sering berbahasa Perancis ketimbang berbahasa Inggris. Bahasa Arab Maroko merupakan dialek tersendiri. Berbeda dengan bahasa Arab yang digunakan di kawasan Teluk, lebih mirip dengan bahasa Arab yang digunakan di Aljazair dan Tunisia.

Alun-alun besar

Banyak tempat wisata yang dapat dinikmati di Marrakech. Tempat utamanya adalah Jamma el Fna. Tempat ini adalah alun-alun besar dengan beberapa souk di sekelilingnya. Sejak abad ke-10, Jamma el Fna merupakan tempat untuk mencari hiburan penduduk Marrakech. Hingga hari ini, pertunjukan tradisional, seperti pendongeng kisah klasik, tukang jual obat, pawang ular, dan topeng monyet, masih menjadi atraksi menarik. Pendengar atau pengunjung memberikan beberapa dirham kepada mereka atas atraksi yang ditampilkan.


Malam hari, pawang ular dan monyet menutup lapaknya, digantikan dengan lapak-lapak penjual makanan. Setelah magrib, Jamma el Fna berubah menjadi deretan warung makan terbuka. Berbagai jenis makanan dijajakan di sini. Suasananya pun riuh. Para penjaja makanan berteriak mencoba menarik perhatian pelanggannya. Asap-asap bakaran membubung di udara, menyebarkan aroma ikan atau daging bakar.

Di pinggiran Jamma el Fna, banyak lorong souk yang menjual berbagai barang. Seperti tempat wisata lain, harga untuk orang lokal tentu berbeda dengan harga bagi turis. Pedagang dapat menawarkan dengan harga sangat tinggi. Di blog-blog wisata, turis disarankan agar menawar separuh dari harga yang diajukan oleh para pedagang. Sepasang sandal kulit tradisional, babusche, ditawarkan dengan harga 170 dirham atau sekitar Rp 255.000. Setelah negosiasi alot, akhirnya sandal ini berpindah tangan dengan harga 70 dirham atau Rp 105.000.

Tempat lain adalah benteng- benteng tua yang masih terawat baik. Salah satunya adalah benteng Bahia. Benteng ini dibangun pada akhir abad ke-19. Di dalamnya terdapat taman terbuka dengan luas 8.000 meter persegi. Benteng ini dibangun oleh Si Moussa untuk keperluan pribadinya. Benteng ini dibangun oleh para tukang yang dibawa dari Fez.


Dari sisi kuliner, makanan Maroko beragam. Makanan yang disajikan pada jamuan makan adalah paha domba yang dimasak dengan berbagai ramuan selama lebih dari tiga jam. Hasilnya, paha domba itu sangat empuk. Makanan pengganti nasi adalah kuskus, terbuat dari tanaman sejenis gandum. Marrakech juga menawarkan kelas- kelas memasak makanan Maroko. Kelas seperti ini sangat menarik perhatian para turis.

Arsitektur bangunan, budaya, dan kuliner yang khas di Marrakech menjadikan ”Kota Merah” ini sangat eksotis.



No comments:

Post a Comment