Marrakech merupakan kota terbesar keempat di Kerajaan
Maroko yang letaknya di Afrika Utara setelah Rabat, Casablanca, dan Fez. Kota
tua ini merupakan salah satu tempat tujuan wisata bagi orang-orang Eropa.
Banyak penerbangan langsung dari sejumlah kota di Eropa ke Marrakech.
Pemerintah Kerajaan Maroko menargetkan 20 juta orang mengunjungi Maroko pada
tahun 2020.
Seperti kota-kota lain di Maroko, Marrakech
terdiri atas kota tua yang dikelilingi tembok benteng tinggi dan penuh dengan
lapak pedagang yang disebut medina, berdampingan dengan bangunan modern. Media
di Marrakech dikelilingi tembok memutar sepanjang 40 kilometer.
Kota tua ini mempertahankan ciri khasnya, yaitu
semua bangunan berwarna merah bata. Pada masa lalu, mereka membangun rumah
dengan menggunakan lumpur merah dan dipertahankan hingga kini. Tidak ada warna
bangunan lain di Marrakech selain merah bata.
Saat ini, Marrakech
juga merupakan salah satu kota tersibuk di Afrika. Marrakech memiliki pasar tradisional
suku Berber terbanyak di Maroko. Di kota ini ada 18 souk atau pasar tradisional
yang menjual berbagai macam barang, mulai dari kerajinan seperti karpet,
sandal, tas kulit, hingga barang elektronik.
Sehari-hari, penduduk Marrakech berbicara dalam
bahasa Arab. Seperti negara Magribi lainnya, mereka juga lebih sering berbahasa
Perancis ketimbang berbahasa Inggris. Bahasa Arab Maroko merupakan dialek
tersendiri. Berbeda dengan bahasa Arab yang digunakan di kawasan Teluk, lebih
mirip dengan bahasa Arab yang digunakan di Aljazair dan Tunisia.
Alun-alun besar
Banyak tempat wisata yang dapat dinikmati di
Marrakech. Tempat utamanya adalah Jamma el Fna. Tempat ini adalah alun-alun
besar dengan beberapa souk di sekelilingnya. Sejak abad ke-10, Jamma el Fna
merupakan tempat untuk mencari hiburan penduduk Marrakech. Hingga hari ini,
pertunjukan tradisional, seperti pendongeng kisah klasik, tukang jual obat,
pawang ular, dan topeng monyet, masih menjadi atraksi menarik. Pendengar atau
pengunjung memberikan beberapa dirham kepada mereka atas atraksi yang
ditampilkan.
Malam hari, pawang
ular dan monyet menutup lapaknya, digantikan dengan lapak-lapak penjual
makanan. Setelah magrib, Jamma el Fna berubah menjadi deretan warung makan
terbuka. Berbagai jenis makanan dijajakan di sini. Suasananya pun riuh. Para
penjaja makanan berteriak mencoba menarik perhatian pelanggannya. Asap-asap
bakaran membubung di udara, menyebarkan aroma ikan atau daging bakar.
Di pinggiran Jamma el Fna, banyak lorong souk
yang menjual berbagai barang. Seperti tempat wisata lain, harga untuk orang
lokal tentu berbeda dengan harga bagi turis. Pedagang dapat menawarkan dengan
harga sangat tinggi. Di blog-blog wisata, turis disarankan agar menawar separuh
dari harga yang diajukan oleh para pedagang. Sepasang sandal kulit tradisional,
babusche, ditawarkan dengan harga 170 dirham atau sekitar Rp 255.000. Setelah
negosiasi alot, akhirnya sandal ini berpindah tangan dengan harga 70 dirham
atau Rp 105.000.
Tempat lain adalah benteng- benteng tua yang
masih terawat baik. Salah satunya adalah benteng Bahia. Benteng ini dibangun
pada akhir abad ke-19. Di dalamnya terdapat taman terbuka dengan luas 8.000
meter persegi. Benteng ini dibangun oleh Si Moussa untuk keperluan pribadinya.
Benteng ini dibangun oleh para tukang yang dibawa dari Fez.
Dari sisi kuliner,
makanan Maroko beragam. Makanan yang disajikan pada jamuan makan adalah paha
domba yang dimasak dengan berbagai ramuan selama lebih dari tiga jam. Hasilnya,
paha domba itu sangat empuk. Makanan pengganti nasi adalah kuskus, terbuat dari
tanaman sejenis gandum. Marrakech juga menawarkan kelas- kelas memasak makanan
Maroko. Kelas seperti ini sangat menarik perhatian para turis.
Arsitektur bangunan, budaya, dan kuliner yang khas di Marrakech menjadikan ”Kota Merah” ini sangat eksotis.
No comments:
Post a Comment