Tuesday, November 18, 2014

London, "Solarbox", dan Kopi Guardian





Terkadang, muncul kontras yang menarik di sela-sela helaan napas sebuah kota. Hujan yang turun kala matahari terang benderang, telepon umum yang kesepian, juga harum kopi yang meredam riuh menjadi hening.

Musim gugur rupanya masih segan menyapa dan membiarkan kehijauan terhampar bebas di Hyde Park. Daun-daun di pepohonan menikmati kehangatan lembut mentari, menunda kodratnya untuk berguguran. Inilah sepotong pagi yang cerah di kawasan Marble Arch di pusat kota London, awal Oktober lalu.

Cerahnya pagi menghantarkan pikiran pada secangkir kopi yang harum. Keinginan yang membuat ingatan terbang pada kabar setahun lalu, tentang kedai kopi mungil yang didirikan surat kabar legendaris Inggris, The Guardian. Kedai kopi bernama #guardiancoffee itu terletak di kawasan Shoreditch, di sisi timur kota London.

Kawasan tersebut sejak dua tahun lalu mulai dikenal sebagai lokasi proyek pusat belanja temporer yang biasa diistilahkan sebagai pop-up mall, pop-up shop, atau flash retailing. Sebuah konsep kawasan belanja dengan toko-toko yang berjualan pada waktu tertentu, terbatas, barang-barang tertentu, dan lokasi yang berpindah-pindah. Konsep ini menyerupai Brightspot Market di Jakarta. Dalam versi tradisional, mungkin bisa mengingatkan kita akan ”pasar malam.”

Dari Marble Arch, kawasan Shoreditch paling mudah ditempuh dengan kereta bawah tanah atau tube. Dari stasiun di Marble Arch, kita harus mengambil jalur central line yang berwarna merah dan turun di Stasiun Liverpool Street. Keluar dari Stasiun Liverpool Street, matahari masih cerah ketika tiba-tiba angin bertiup kencang disusul gerimis yang lantas menjadi hujan.

Dari stasiun itu, cukup berjalan kaki selama 10 menit, tibalah kita di Bethnal Green Road. Kedai kopi #guardiancoffee yang mungil tampak menyempil di antara toko-toko lain di sekitarnya. Pagi itu, kedai sudah disambangi beberapa pelanggan. Harum kopi berbasis espresso mulai menari-nari menyusup hidung.

Kedai ini ditata sederhana, terang, bersih, dengan perabot buatan lokal. Dinding berhiaskan subway tiles putih yang klasik, pelapis lantai menyerupai kayu, jendela kaca transparan, dan meja-meja unik. Setiap meja dilengkapi tablet yang tertanam di bagian tengahnya. Pengunjung bisa membaca berita-berita The Guardian di tablet tersebut. Meski begitu, versi koran tetap tersedia.

Kedai #guardiancoffee berdiri pertengahan 2013 dengan bermitra bersama Nude Espresso, yakni sebuah micro-roastery coffee house yang cukup dikenal. Sebagian besar kopi yang diracik berasal dari jenis arabika yang tumbuh di tanah Afrika dan Amerika Selatan.
Ketika didirikan, The Guardian dalam keterangannya menyebut kedai ini dibuat dengan maksud sebagai wadah bagi para jurnalis untuk bertemu, berdiskusi, dan juga berinteraksi dengan khalayak secara langsung.


Tak terasa, setelah dua cangkir kopi, derai hujan akhirnya berhenti. Matahari mulai mengintip lagi, memantulkan sinarnya pada jalanan yang basah. Payung-payung dilipat dan orang-orang terus bergegas.

”Solarbox”

Beberapa surat kabar lokal mengabarkan soal ikon baru bagi kota ini, yakni solarbox. Sebuah fasilitas umum gratis pengisian baterai gadget yang dikemas berupa boks yang menyerupai boks telepon umum merah yang legendaris.

Turis di London, terutama yang baru pertama kali, selalu berusaha berfoto bersama boks telepon umum bercat merah, yang saat ini hanya berfungsi sebagai ornamen kota. Kini, amat jarang kita bisa melihat telepon umum itu digunakan oleh publik. Meskipun begitu, teleponnya sendiri masih berfungsi baik walaupun kadang tercium bau pesing di dalam boks.

Solarbox tampil dalam cat hijau terang dengan desain menyamai versi boks merah. Sesuai namanya, solarbox memanfaatkan tenaga surya. Niat yang mulia mengingat London kerap diselimuti mendung dan cuaca tak menentu.

Beberapa solarbox gelombang pertama hadir per 1 Oktober lalu di kawasan Tottenham Court Road, di pusat kota London. Kawasan ini juga mudah dijangkau dengan tube melalui jalur central line berwarna merah. Tepat di mulut keluar masuk stasiun tube di Tottenham Court Road, solarbox berdiri berdampingan dengan saudara tuanya, the red telephone box. Boks telepon merah tersebut telah identik dengan negeri Inggris sejak tercipta di tahun 1924.

Di dalam solarbox, kita bisa mengisi ulang baterai untuk segala macam gadget, seperti telepon seluler, tablet, dan kamera, dengan aneka ukuran mulut USB. Kita tinggal menancapkan kabel USB yang tertanam di dalam boks pada ponsel kemudian menunggu beberapa menit. Pengisian baterai selama sekitar 10 menit dapat memenuhi baterai ponsel hingga 20 persen.

Solarbox mungkin menjadi cermin semangat kota ini untuk mengusung energi bersih. Hanya saja, nyatanya jalanan London kini kian dipenuhi mobil berbahan bakar fosil. ”London sekarang makin macet. Pagi dan sore, bisa habis waktu kita di jalanan. Mungkin karena makin banyak pendatang,” keluh Gulam, warga London asal Pakistan yang bekerja sebagai sopir pribadi.

Soal mobil, kita juga bisa menjumpai fenomena menarik yang baru beberapa tahun terakhir ini mewarnai London. Di kawasan Knightsbridge, tepatnya di sekitar lokasi pusat belanja terkemuka Harrods, bermacam mobil mewah sengaja diparkir di tepi jalan untuk menjadi tontonan.

Aneka merek mobil seperti Bentley, Ferrari, hingga Pagani seharga 1,2 juta poundsterling bertengger menunggu dikagumi. Mobil-mobil itu bernomor pelat polisi dalam aksara Arab yang mengindikasikan pemiliknya warga asal Timur Tengah. Para warga asal Timur Tengah itu biasanya hanya nongkrong di kursi-kursi kafe yang menempati sebagian trotoar, sembari mengamati orang-orang berlalu lalang di trotoar yang mengagumi mobil milik mereka. Orang pun bisa memotret mobil-mobil itu dengan bebas.

”Mereka senang mobilnya dikagumi. Saya dan anak saya kadang izin sama pemiliknya lihat-lihat interior mobil. Tinggal kasih salam ’assalamualaikum, brother’, terus bilang kita dari Indonesia, mereka biasanya langsung kasih izin dengan senang hati,” celoteh Usya (50), warga Indonesia yang lama tinggal di London.

Semua sepertinya punya pilihan untuk berbahagia di kota ini. Entah dengan mengagumi ataupun dikagumi

No comments:

Post a Comment